Skip to Main Content
Kembali ke Halaman Opini

Bagaimana Ketimpangan dan Norma Gender Ikut Menentukan Kerentanan Terhadap Bencana Alam?

Fachrial Kautsar

Admin

Bencana alam dan krisis iklim merupakan ancaman serius bagi pembangunan manusia dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Keduanya berkaitan erat dengan interaksi antara manusia dengan alam, dan risikonya sangat dipengaruhi—baik secara positif maupun negatif—oleh proses dan arah pembangunan.

Dampak negatif dengan intensitas lebih besar dirasakan oleh negara-negara paling miskin dan menyebabkan kerugian material dan manusia yang cukup besar. Bencana alam dan krisis iklim dapat menghancurkan tempat tinggal, infrastruktur, hingga mata pencaharian jutaan orang di seluruh dunia, terutama bagi mereka yang paling miskin dan paling rentan.

Terlepas dari dampaknya yang besar dan tanpa pandang bulu, tiap-tiap individu tentu memiliki pengalaman yang berbeda ketika berhadapan dengan bencana alam. Hal ini terjadi karena faktor derajat kerentanan dan kapasitas penanggulangan bencana tiap individu yang berbeda, antara satu dengan lainnya.

Elaine Enarson dalam makalahnya yang berjudul “Gender Equality, Work, and Disaster Reduction: Making the Connection” menjelaskan bahwa konsep kerentanan merupakan konsep yang sangat kompleks. Menurutnya, kerentanan individu ketika berhadapan dengan bencana dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya. 

Akses dan kontrol terhadap sumber daya dibutuhkan oleh individu untuk bertahan hidup dan memulihkan diri dari kondisi pasca-bencana. Individu yang hidup dalam kemiskinan jauh lebih rentan terhadap dampak bencana alam dan krisis iklim, begitu pula kelompok yang terpinggirkan secara sosial dan politik seperti perempuan dan anak-anak termiskin di suatu negara.

Beberapa penelitian yang menganalisis dampak bencana telah mengungkapkan fakta bahwa perempuan dan anak-anak memiliki risiko yang lebih besar terhadap kelangsungan hidup dan pemulihan diri pasca bencana alam. Kerentanan perempuan dan anak terhadap bencana ini dapat diperburuk oleh unsur-unsur diskriminasi lain seperti ras, gender, kemiskinan, dan disabilitas.

Ketimpangan sosial dan norma gender juga turut serta membuat suatu kelompok tertentu menjadi lebih rentan terhadap dampak bencana alam, terutama berkaitan dengan pembentukan kemampuan bertahan hidup dasar dan pemulihan pasca bencana.

Misalnya, survei Oxfam pasca Tsunami Asia Tenggara pada tahun 2004 menunjukkan bahwa perempuan yang tewas akibat bencana besar ini empat kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, terutama di wilayah Indonesia, Sri Lanka, dan India. Salah satu faktor yang ditengarai sebagai penyebabnya adalah karena laki-laki diajari cara berenang dan memanjat pohon sejak usia muda, sedangkan perempuan tidak.

Lalu, menurut UNDRR, perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia memiliki porsi tugas yang sangat besar—baik secara pribadi maupun professional—dengan mengasuh anak-anak, pekerjaan rumah, orang tua, dan penyandang disabilitas. Karenanya, mereka seringkali menjadi kelompok terakhir yang mengungsi dari daerah rawan bencana.

Keputusan penyelamatan hidup yang (bagi sebagian orang) begitu sederhana, seperti memutuskan kapan dan apakah mereka akan segera mengungsi, justru bisa menjadi pilihan yang sulit bagi mereka.

Menimbang besarnya dampak akibat ketimpangan sosial dan diskriminasi berbasis gender ini, kebijakan mitigasi dan penanggulangan bencana yang sensitif gender sudah seharusnya mendapat perhatian lebih dan menjadi elemen kunci guna mengikis kerentanan sosial—baik sebelum, selama, dan setelah bencana alam.

Semakin maraknya bencana alam dan krisis iklim yang terjadi beberapa tahun ke belakang (seperti karhutla, banjir bandang, dan tanah longsor) telah cukup menampar wajah kita dan menyadarkan akan pentingnya kesiapsiagaan, mitigasi, serta strategi penanggulangan bencana yang lebih tanggap dan peka terhadap kelompok rentan.

Agenda SDGs 2030 pun mengakui adanya kaitan erat antara kesetaraan gender, kerentanan, dan ketahanan terhadap bencana alam, serta pentingnya hubungan ini untuk pencapaian target-target SDGs. Dan kita sebagai bagian dari masyarakat sipil juga bisa berperan dalam meningkatkan ketahanan kelompok rentan dalam menghadapi bencana dan krisis iklim yang sedang atau akan terjadi. Beberapa inisiatif yang bisa kita pelajari antara lain praktik baik dari organisasi-organisasi berikut:

  • Perkumpulan Pikul

Merupakan LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, lingkungan, dan sumber daya alam di NTT. Perkumpulan Pikul secara rutin mengadakan program-program berupa diskusi tentang pemanfaatan sumber air, kondisi sumber mata air, kondisi daerah tangkapan dan hutan, serta kearifan lokal di NTT.

Pikul juga pernah bekerja sama dengan The Indonesia Climate and Disaster Resilience Communities (ICDRC) untuk mendukung penguatan kelompok rentan terutama perempuan melalui pertanian dan penghidupan berkelanjutan yang sigap terhadap perubahan iklim dan memiliki kapasitas adaptif terhadap ancaman bencana. Melalui project Young Female Farmer bersama Oxfam, Pikul juga telah melaksanakan pembelajaran ketahanan pangan, perubahan iklim, dan gender bagi masyarakat di wilayah Kupang dan sekitarnya.

  • Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Yogyakarta

LSM yang berbasis di Yogyakarta ini berfokus pada pembangunan ketangguhan masyarakat terutama kelompok rentan terhadap bencana dan perubahan iklim. Mereka telah melaksanakan berbagai pelatihan seperti perencanaan penganggaran untuk pembangunan desa yang responsif gender dan inklusif.

Bersama Konsepsi NTB, SAPDA telah melaksanakan workshop pengarusutamaan gender dan inklusi disabilitas dalam manajemen risiko bencana yang berperspektif perubahan iklim bagi tokoh masyarakat di Sembalun, Lombok Timur. Melalui kegiatan ini, peserta diharapkan mampu memiliki kepekaan terhadap hak-hak perempuan dan disabilitas ketika terjadi bencana. Selain itu, para pemangku kebijakan juga didorong untuk lebih melibatkan kelompok rentan secara bermakna dalam menyusun kebutuhan menyangkut kebencanaan dan perubahan iklim.