Polemik Tambang Emas dan Ancaman Terhadap Keanekaragaman Hayati di Kepulauan Sangihe Eng
Fachrial Kautsar
AdminTerbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kepulauan Sangihe pada bulan Januari 2021 lalu menuai polemik di masyarakat. Surat izin yang ditandatangani oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini menuai reaksi penolakan, terutama oleh masyarakat setempat. Gerakan penolakan yang menamakan diri sebagai Save Sangihe Island tersebut diprakarsai oleh aktivis lingkungan bersama dengan 25 organisasi kemasyarakatan lain di wilayah Sulawesi Utara.
Penolakan warga setempat terhadap IUP yang diterbitkan Kementerian ESDM ini bukan tanpa alasan. Wilayah Kontrak Karya (KK) yang dimiliki oleh PT. Tambang Mas Sangihe (PT. TMS) adalah seluas 42.000 ha, atau setara 57% dari luas Kabupaten Kepulauan Sangihe yang hanya 73.689 ha. Izin tambang ini juga berpotensi melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K).
Merujuk pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2014 tentang PWP3K, “Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 kilometer persegi.” Lalu dilanjutkan dengan Pasal 23 ayat (2) yang menyebut bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk sembilan kepentingan, yakni: konservasi; pendidikan, dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budi daya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; pertanian organik; peternakan; dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
Namun demikian, Irwandy Arif selaku Staf Khusus Menteri ESDM mengklarifikasi bahwa meskipun luas wilayah KK yang dimiliki PT. TMS adalah seluas 42.000 ha, akan dilakukan penciutan ke-3 yang membuat wilayah KK PT. TMS lebih kecil dari sebelumnya. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa meskipun luas wilayah dalam KK sebesar 42.000 ha, namun hanya 65 ha yang akan digunakan untuk penambangan.
Ancaman terhadap Lingkungan dan Keanekaragaman Hayati
Di luar pertimbangan hukum dan regulasi, secara geografis, Kepulauan Sangihe cukup berisiko untuk dijadikan wilayah pertambangan. Hal ini mengingat letak pulau Sangihe yang berada pada persimpangan lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik, serta lempeng Sangihe dan lempeng Laut Maluku. Dengan demikian, ancaman gempa tektonik dan pergerakan patahan bisa saja terjadi secara tiba-tiba. Ditambah lagi dengan letak pulau Sangihe yang dikelilingi oleh rentetan gunung yang membuatnya rentan menjadi area terdampak gunung api.
Perubahan bentang alam akibat kegiatan pertambangan juga berpotensi besar menganggu wilayah hutan lindung, lumbung air, serta aliran sungai, yang selama ini telah menjadi sumber penghidupan penduduk. Bukan hanya bagi manusia, melainkan juga bagi keanekaragaman hayati di dalamnya.
Seriwang Sangihe, atau yang biasa disebut masyarakat lokal sebagai manu’ niu merupakan burung endemik yang hanya bisa dijumpai di pulau Sangihe. Burung ini sempat dianggap punah selama kurang lebih seratus tahun, hingga akhirnya 20 tahun lalu mereka terlihat kembali. Burung kecil berwarna kebiruan dan pemakan serangga ini jumlahnya kritis dan semakin terancam dengan rencana eksplorasi emas di hutan tempat mereka tinggal. Selain manu’ niu, ada sembilan jenis burung endemik lainnya yang berstatus kritis dan rentan, yang juga turut terancam dengan rencana eksplorasi emas ini.
Minim Partisipasi Masyarakat
Menurut pakar hukum pertambangan, Ahmad Redi, polemik izin pertambangan di Kepulauan Sangihe merupakan dampak dari perubahan regulasi yang memangkas kewenangan pemerintah daerah. Perubahan dalam UU Minerba yang baru disahkan pada 2020 silam membuat pemerintah pusat memiliki kuasa untuk mengambil alih secara penuh perizinan dari pemerintah daerah.
Selain berdampak pada sentralisasi kewenangan perizinan, regulasi ini juga semakin menjauhkan partisipasi bermakna masyarakat atas penggunaan tanah dan lahan tempat tinggalnya. Hal ini dapat terlihat dari besarnya gelombang penolakan masyarakat serta tidak berdayanya pemerintah daerah atas izin yang diterbitkan. Meskipun Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe mengaku tidak menandatangani Amdal, izin pertambangan tetap dapat diterbitkan oleh pemerintah pusat lewat Kementerian ESDM.
Ancaman terhadap Pencapaian Tujuan SDGs 15
Polemik izin pertambangan di Kepulauan Sangihe tidak terlepas dari upaya-upaya tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Terutama tujuan SDGs 15, yakni melindungi, merestorasi, dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan degradasi lahan, serta menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati.
Kerusakan lingkungan, terutama pada ekosistem daratan disebabkan karena masih terdapatnya pelanggaran atau bahkan penerabasan hukum di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup. Laporan capaian SDGs milik Bappenas RI pada tahun 2019 juga menyebutkan bahwa telah terjadi penyusutan luas habitat ideal satwa langka terancam punah di empat pulau besar, yaitu: Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyusutan hutan dan penguasaan atas lahan ini juga disinyalir sering menjadi sumber hadirnya konflik lahan di masyarakat.
Oleh karena itu, perlu adanya kepedulian dan perhatian lebih dari para pemangku kebijakan terkait dengan polemik izin pertambangan di Kepulauan Sangihe. Penerabasan regulasi yang mengesampingkan aspirasi dan partisipasi publik tidak seharusnya terjadi dan menciptakan polemik. Terlebih permasalahan ini berkaitan erat dengan poin-poin tujuan pembangunan berkelanjutan yang besar dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat setempat.
Sumber Rujukan
Artikel "Polemik Izin Tambang Emas Sangihe: Ditolak Warga & Helmud Hontang", https://tirto.id/ggRP
https://www.bbc.com/indonesia/media-57385482
https://duniatambang.co.id/Berita/read/1569/Pertambangan-dan-Keanekaragaman-Hayati-di-Sangihe
https://betahita.id/news/lipsus/6328/sangihe-si-zamrud-kecil-yang-terancam-tambang.html?v=1625982923
https://www.jatam.org/separuh-pulau-jadi-wilayah-tambang-emas-warga-sangihe-keberatan
Laporan Capaian SDGs Tujuan 15 Tahun 2019, Bappenas RI
